Satu tambah satu bagi pelukis produktif Iswanto hasilnya bukan dua, tapi bisa jadi seribu, satu juta, bahkan bilangan tak berbilang. Dari satu objek, satu ide, satu warna, satu fundamental, ia bisa mengolahnya menjadi kaya estetika dan psikologi visual di puluhan kanvas putih, tanpa satu detik pun terlewatkan keterampilan tangan artistiknya. Tidak penting pula ia sedang mood atau situasi duka lara perpisahan dengan orang terdekat. Hatinya, pikirannya, menjadikan hitam bukan berkabung, merah bukan amarah, kalah bukan kekalahan, kompetisi bukan perang tanding. "Semua Bisa Menang", toreh judul salah satu lukisannya. Dan, "semua saya beri penghargaan." tandasnya atas setiap peristiwa kehidupan. Penghargaan itu adalah warna-warna cat pada kanvas-kanvas besar yang siap ia pamerkan pada 29 Juni – 17 Juli 2012 di Bakrie Tower, Rasuna Epicentrum, Jakarta. Pameran Tunggal mengusung tema COLOR OF LIFE dipastikan menampilkan kreativitas terbaru tahun ini sebagai tanda produktivitas Iswanto mengalir selaras dinamika hidupnya yang terus melaju ke depan, ke tujuan, cita-cita akan kebermaknaan diri sebagai aset dunia, aset kehidupan.
Ketika
tim liputan IndonesiaSeni.com datang ke studionya di kawasan Pejaten,
Jakarta Selatan, pelukis yang selalu tersenyum ini menyambut dengan
penampilan penuh bercak cat di kaos oblong yang membalut tubuhnya.
Setiap ruangan seolah menjadi studio lukisan. Kanvas-kanvas besar
bertumpuk, berjajar, dan yang belum terselesaikan sebagai media artistik
terpajang menunggu sentuhan dan pengamatan. Diterpa cahaya lampu,
lukisan-lukisan cat minyak dan akrilik dengan karakteristik warna-warni
kontras menyembul hidup seperti ingin menunjukkan sisi kehidupan yang
menarik dijenguk. Ekspresif. Itu kesan yang pasti tertangkap mata pada
pandangan pertama, apa pun objek sapuan sang pelukis: kuda, manusia,
sepeda, subtil benda-benda, bahkan corak warna background, garis, dan
setiap gurat bentuk. Beberapa lukisan berupa graffiti angka dan puisi
spontan dan saling bertabrakan, baik kata, huruf, maupun pulasan warna
yang ramai dan berani.
Iswanto menegaskan sepanjang proses kreatifnya tidak mengenal rekayasa eksperimen. Realisme, naturalisme, dan yang kemudian lebih menjadi ciri khasnya yakni ekspresionisme adalah bahasa hati dan gerak pemikiran reflektif. “Saya lempar cat ke kanvas saja itu sudah merupakan kebenaran. Apa yang saya ucapkan, tumpahkan, itulah kemurnian yang mengalir dari bahasa hati. Bagi saya hati lebih cerdas, dan dengan keyakinan saya mengatakan asyik, maka sesuatu itu efeknya jadi asyik,” demikian prinsip pria kelahiran Kebumen,25 April 1964.
Meski demikian, penyelesaian setiap karya tetap berbeda. Iswanto yang sejak kecil telah menuruti bakat alam dan keturunan berkesenian dari kakek yang pematung dan ibu pembatik, belum pernah mengalami stagnasi. Ketika kejiwaannya berada di pusaran kisah sedih perceraian dengan wanita yang dicintai, tidak ada karya yang terbiarkan terlantar. Tangannya tetap bergerak dalam kesunyian.
“Saya memandang seni persis hidup itu sendiri. Waktu mengalami perpisahan dengan istri, tiga tahun saya mencoba merasakan tidak usah melakukan apa-apa itu bagaimana? Tapi saya tetap melakukan pengolahan, istilahnya men-charge. Bagi saya tidak ada satu detik pun untuk dibuang. Hanya saja saya tidak aktif di pameran.”
Iswanto menegaskan sepanjang proses kreatifnya tidak mengenal rekayasa eksperimen. Realisme, naturalisme, dan yang kemudian lebih menjadi ciri khasnya yakni ekspresionisme adalah bahasa hati dan gerak pemikiran reflektif. “Saya lempar cat ke kanvas saja itu sudah merupakan kebenaran. Apa yang saya ucapkan, tumpahkan, itulah kemurnian yang mengalir dari bahasa hati. Bagi saya hati lebih cerdas, dan dengan keyakinan saya mengatakan asyik, maka sesuatu itu efeknya jadi asyik,” demikian prinsip pria kelahiran Kebumen,25 April 1964.
Meski demikian, penyelesaian setiap karya tetap berbeda. Iswanto yang sejak kecil telah menuruti bakat alam dan keturunan berkesenian dari kakek yang pematung dan ibu pembatik, belum pernah mengalami stagnasi. Ketika kejiwaannya berada di pusaran kisah sedih perceraian dengan wanita yang dicintai, tidak ada karya yang terbiarkan terlantar. Tangannya tetap bergerak dalam kesunyian.
“Saya memandang seni persis hidup itu sendiri. Waktu mengalami perpisahan dengan istri, tiga tahun saya mencoba merasakan tidak usah melakukan apa-apa itu bagaimana? Tapi saya tetap melakukan pengolahan, istilahnya men-charge. Bagi saya tidak ada satu detik pun untuk dibuang. Hanya saja saya tidak aktif di pameran.”

Seolah menjawab rasa penasaran teman-temannya yang mengira Iswanto is dead, tahun 2011 ia menghentak pasar seni rupa dengan pameran tunggal megah "Ekspresionisme Iswanto". Tak ada kekelaman, kedukaan, secara objek dan fenomena warna-warna primer tampil kalem dan natural namun dengan sirat kegembiraan dan bahkan kemenangan. Kesuksesan ini menjadi motivasi kuat untuk lebih berkembang menghadirkan ekspresionisme 2012 yang sportif, dinamis, dan pencapaian jati diri kesenimanan Iswanto. Lukisan-lukisan yang akan dipamerkan pada akhir Juni di Jakarta, lebih kaya warna kontras dan ditorehkan secara ekspresif melalui pisau paletnya dengan tema-tema komunal yang kolaboratif dan kompetitif. Setiap garis, bentuk, titik, gesture, berada pada sifat dasarnya namun masing-masing ditonjolkan sebagai karakter yang mempunyai hak ciri untuk eksis.
“Semua Maju Ke Depan, Semua Bisa Menang, semua saya beri penghargaan.” Iswanto menyebut judul-judul lukisannya yang mewakili perspektifnya tentang makna hidup dan jati diri. Bagi Iswanto, walau ekspresionisme karyanya penuh siratan kontradiktif, namun ada harmoni rasa yang membingkai jelas setiap perbedaan dan tabrakan gurat dan warna. “Saya orangnya cenderung happy, bersyukur, bahagia. Tapi kadang saya suka kontradiksi. Misalnya melihat fenomena seorang wanita berjalan memakai pakaian hitam, mungkin di sana disebut sedih, mungkin di sini disebut gembira. Di samping mengakui warna sebagai warna, simbol, pengolahan cintanya yang menjadi menarik.”
Cinta, menurut Iswanto adalah kata kunci kehidupan yang membuat segala sesuatu menjadi penuh arti. Tema pameran lukisannya tahun ini Color of Life adalah simbol dinamika hidup atas fenomena cinta yang menyeluruh, tidak sebatas romantisme. Ada perkembangan secara teknik, namun yang pasti pendewasaan dalam berkarya dan menjalani hidup. Iswanto memisalkan setiap diri sejatinya adalah aset dunia. Ketika seseorang telanjur lahir, ia harus yakin dirinya berarti dan penting. Namun untuk mencapai keyakinan itu diperlukan tahapan-tahapan psikologis pengenalan dan pemahaman akan hakikat kehidupan. “Bahkan yang kontradiksi artinya juga luar biasa. Ada harus menjadi. Saya sering memandang di kehidupan mengapa orang lebih senang bicara menang dan kalah? Padahal yang menarik bukan menang kalahnya, tapi tujuannya; kita ini dari mana, sedang apa, mau ke mana? Hidup bagi saya adalah memperjelas diri. Dengan adanya perbedaan semua menjadi bagus. Dinamika hidup berubah-ubah, semua harus dengan cinta. Cinta tidak sebatas romantisme, tapi keseluruhan, keberanian mengalami dan menerima dalam hidup itu ada tidak enak, enak, semua bisa menjadi makna, memantapkan keyakinan. Yakin itu prosesnya dari tahu, sadar, mengerti, baru yakin. Kalau tiba-tiba mengatakan yakin, itu omong kosong.”
Modal keyakinan itulah yang diolah Iswanto sejak ia menyadari bakat dan minatnya dalam bidang melukis. Tanpa arahan siapapun, sejak kanak-kanak ia memakai kertas apa saja untuk menggambar, membeli spidol, cat, dan semua perlengkapan dengan uang jajan. Padahal diakuinya dukungan orangtua tidak sedikitpun atas bakat yang sudah tampak menonjol dan sebetulnya warisan darah. Maka ketika masa remaja, sejak SMP ia memilih kos sekitar 30 kilometer dari rumahnya di Kebumen, kemandiriannya berkarya dengan manajemen keyakinan menghasilkan prestasi. Selain menjadi kesayangan guru di sekolah, Iswanto sudah dapat hidup dari lukisan-lukisan sederhananya. Semester dua kuliah jurusan seni rupa di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ia bahkan sudah sahih sebagai seniman kuas dan kanvas yang karyanya menghasilkan pengakuan dan tentu nominal rupiah. Banyak tokoh besar mengoleksi karya-karyanya dan bahkan menjadi sahabatnya, antara lain Rano Karno dan Robby Johan.
Belasan pameran tunggal yang ia gelar sejak tahun 1993 bukan hanya di kota-kota besar Indonesia, tapi juga di Eropa, setidaknya tercatat dua kali di Denmark. Khusus kota tersebut, Iswanto bisa dibilang rutin hadir dalam pameran bersama para pelukis internasional. Barangkali itu buah keyakinannya tentang apa yang telah dipilih dalam hidup, sehingga untuk para pelukis muda ia berpesan: “Sudah telanjur lahir, berbuatlah sesuatu, yakni memaknai diri bahwa setiap orang ada arti, Kalau sesuatu sudah jadi pilihan, prinsipnya harus mengolah keyakinan; dunia saya ini.”
Sumber : www.Indonesiaseni.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar